Bisnis.com, DENPASAR — Persoalan legalisasi arak di Bali kian berlarut-larut. Setelah skema distribusi arak yang tertuang dalam Pergub No.1/2020 tidak kunjung diterapkan, kini giliran distributor arak kena batu sandungan.
Bisnis merangkum sejumlah informasi atas sulitnya distribusi arak yang dilakukan pengusaha lokal kecil. Distributor arak lokal yang menjual dengan harga di bawah Rp50.000 per botol mengaku tidak lagi bisa mengedarkan minuman alkohol khas Bali tersebut.
Usut punya usut, distributor arak bali kini tengah berhadapan dengan penindakan aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, bea cukai, hingga pemerintah daerah kabupaten atau kota. Namun, banyak distributor lokal yang enggan memberikan keterangan terkait operasi tersebut.
Bisnis berhasil mendapatkan keterangan dari owner warung Pan Tantri I Kadek Darma Apriana yang telah mendistribusikan arak selama 10 tahun lamanya.
Kadek mengatakan saat ini penggerebekan warung-warung maupun distributor arak kian masif dilakukan aparat. Penggerebekan tersebut dilakukan mulai dari pihak kepolisian hingga bea cukai.
Penggerebekan pun dilakukan pada distributor yang belum memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB). Padahal, ketika Pergub No.1/2020 dirilis pada tahun lalu, banyak usaha arak bermunculan termasuk distributor yang mengeluarkan merek-merek baru. Namun, penggerebekan secara masif baru dilakukan pada tahun ini.
Baca Juga
Adapun dalam Pergub No.1/2020 tentang tata kelola minuman fermentasi dan atau destilasi khas Bali, distributor arak memang diminta untuk mempunyai SIUP MB. Selain SIUP-MB, pembinaan dan pengawasan kepada produsen maupun distributor dan penjual langsung juga meliputi kepemilikan Nomor Induk Berusaha (NIB), izin edar, pita cukai, label, harga, dan kemasan.
"Tahun lalu sih ada juga yang digerebek, cuma situasinya beda, dilihatlah biar gemuk, biar banyak yang dapat untung, kalau dulu baru mereka buka digerebek, ya dapat apa," katanya kepada Bisnis, Selasa (4/5/2021).
Menurutnya, sebelum Pergub No.I/2020 diterapkan, pelaku usaha arak memang kerap mendapatkan penindakan dari petugas. Namun, penindakannya masuk dalam tindak pidana ringan (tipiring) dan berakhir pada pembinaan. Setelah Pergub No.I/2020 dirilis, distributor yang tidak memiliki SIUP MB maupun perizinan yang lain justru kena denda hingga Rp20 juta.
"Saya baru Pergub itu dilegalkan sudah kena tangkap dan membayar Rp20 juta, kan ditulis barang siap yang menjual minuman alkohol harus punya SIUP MB, jika melanggar kena denda Rp20 juta dan kurangan 6 bulan," sebutnya.
Padahal, Kadek Darma sudah berusaha mengurus perizinan yang dibutuhkan. Hanya, biaya pengurus yang senilai Rp58 juta untuk berlaku selama lima tahun dinilai cukup memberatkan. Alhasil, pasar araknya yang sebagian besar kelas menengah ke bawah akan dirugikan karena harus membeli dengan harga lebih mahal.
Setidaknya, Kadek Darma menghitung, jika penjualan araknya telah dilengkapi dengan syarat-syarat perizinan, maka satu botolnya akan dijual Rp150.000. Harganya naik drastis dari semula Rp20.000.
"Tidak mungkin saya jual dengan harga segitu, kelas menengah ke atas memangnya apakah mau membeli arak yang notabene selama ini untuk menengah ke bawah. Untuk apa saya gagah berizin tetapi yang beli tidak ada," sebutnya.
Anggota Kelompok Ahli Pembangunan Provinsi Bali Bidang Kesehatan dan Pendidikan I Made Agus Gelgel Wirasuta mengatakan sejak pertengahan April 2021 lalu, aparat penegak hukum memang semakin gencar melakukan penindakan atas peredaran arak ilegal tanpa izin di Bali. Penindakan pun dilakukan oleh masing-masing pemerintah kabupaten atau kota yang membuat tim pengawasan dan evaluasi. Tim tersebut terdiri dari BPOM, kepolisian, dan dinas-dinas terkait.
"Pemerintah kabupaten/kota terlibat semua, sehingga kita inginkan peredaran arak itu benar-benar sesuai izin," katanya.
Gelgel menilai jika masih dijual secara ilegal, arak akan merugikan masyarakat yang merupakan konsumen. Peredaran arak dengan persyaratan sejumlah izin memang akan meningkatkan harga jual tetapi sekaligus juga memastikan keamanan konsumsi masyarakat.
"Kalau yang sekarang beli abal-abal itu anak-anak muda yang tidak punya uang dan hanya mabuk pinggir jalan, tujuan kita arak di bawa sebagai minuman kelas tinggi setara sake dan soju," sebutnya.
Bali memang telah merilis Peraturan Gubernur No.1 tahun 2020 tentang tata kelola minuman fermentasi dan/atau destilasi khas Bali. Beleid yang diiundangkan pada 29 Januari 2020 tersebut digadang-gadang akan memberikan penguatan dan pemberdayaan perajin bahan baku minuman fermentasi atau destilasi khas Bali.
Beleid tersebut menerangkan mengenai dibentuknya suatu kemitraan usaha antara perajin arak, koperasi, dan produsen. Perajin bertindak sebagai pihak yang memproduksi arak dengan cara tradisional, kemudian hasil produksi dijual kepada koperasi dan meneruskan penjualan ke produsen.
Dalam perkembangannya, hingga kini, koperasi tidak kunjung menghimpun arak petani karena produsen yang belum siap menjual minuman fermentasi tersebut sebagai akibat mati surinya pariwisata Bali. Di satu sisi, petani harus dihadapkan dengan maraknya arak gula dengan harga murah yang memiliki kandungan metanol tinggi dan berbahaya bagi tubuh.