Bisnis.com, DENPASAR - “Kuta sudah berubah pantainya. Dulu lebih klasik, ombaknya panjang, dan setiap hari bisa dipakai berselancar,” ungkap legenda selancar ombak asli Kuta, Ketut Menda kepada Bisnis.
Ketut Menda adalah salah satu saksi hidup perubahan di Pantai Kuta. Pria kelahiran 1962 di Kuta ini merupakan legenda selancar ombak. Dia mulai berselancar pada 1970-an dan sudah melanglang buana hingga ke Hawai, Amerika Serikat. Prestasinya pernah masuk jajaran 16 peselancar terbaik dunia pada 1981. Menurutnya frekuensi dan kualitas ombak di Pantai Kuta jauh berbeda dibandingkan era pada 1970-an dan 1980-an. Ketika itu, setiap hari peselancar bisa memakai ombak. Bahkan, ketika musim angin barat, yakni periode November hingga Januari, ombak di Kuta tidak terbentuk sempurna masih tetap bisa dipakai berselancar.
Saat ini frekuensi dan kualitas ombak jauh menurun. Frekuensi ombak merupakan seberapa sering ombak datang dan digunakan untuk berselancar. Frekuensi ombak biasanya sekitar 2-3 menit sekali dengan sekali kemunculan bisa 3 ombak secara berurutan. Adapun kualitas ombak terkait panjang dan besarnya ketinggian ombak. Menda berujar, ombak di pantai yang mendatangkan jutaan wisatawan setiap tahun ini sudah tidak sama seperti dulu.
Yang membuatnya khawatir lagi, beberapa titik berselancar di pesisir Pantai Kuta ikut menghilang. Salah satu contohnya titik selancar di depan Hotel Kartika Plaza. Pada 1980-an, ombak di depan hotel ini sangat bagus untuk belajar bagi pemula dan level menengah. Di sini ada ombak pecah ke kanan (right) yang panjang, dan bisa untuk melakukan manuver beberapa kali. Sekarang sudah tidak ada lagi karena di dekat hotel ini dibangun pemecah gelombang. Dari pengamatannya, selain di depan Hotel Kartika Plaza, ombak pecah ke sisi kanan (right hander) di depan Hardrock Hotel juga menghilang.
Menghilangnya dua titik ombak ini diakuinya paska pembangunan breakwater di depan Mall Centro, dan penambahan pasir di Pantai Kuta pada 2008 silam. Ombak kemudian benar-benar lenyap ketika perluasan Bandara International I Gusti Ngurah Rai pada 2018 silam.
“Dulu itu ada right-nya bagus sekali, tapi sekarang hilang mungkin karena pasirnya [sandbank] di situ hilang,” ungkapnya.
Dalam selancar ombak, setiap ombak akan pecah ke kanan (right hander), dan ke kiri (left hander). Jika ombak pecah ke kanan, peselancar otomatis akan melakukan manuver ke arah kanan, dan begitu pula sebaliknya. Pesisir Kuta dapat disebut sebagai lahan ombak karena di pantai ini bisa memberikan pilihan bagi penyuka right hander maupun left hander. Saat ini, Kuta merupakan salah satu titik gravitasi selancar ombak di Bali. Di pesisir Kuta, saat ini masih menyisakan titik selancar seperti Halfway, Kuta Reef, Airport Left dan Right, Maharani, hingga Legian Beach serta Kudeta.
Meski masih ada cukup banyak titik untuk berselancar di Kuta, Menda menuturkan bahwa dulu jauh lebih banyak dan konsisten kemunculannya. Itu terjadi karena pada periode tersebut, masih banyak sandbank atau gundukan pasir di dasar laut yang berfungsi memecah gelombang sehingga menjadi ombak. Keberadaan sandbank tersebut tidak permanen, tetapi bisa berubah setiap saat tergantung banyak faktor. Pada era dulu, sandbank di Kuta bisa bertahan bertahun-tahun. Hanya saja sejak adanya penambahan pasir, dan pembangunan perluasan bandara, dia menduga sejumlah sandbank telah hilang karena dampak hempasan gelombang dari arah arah laut yang kemudian menarik pasir di pantai ke dalam laut menjadi endapan.
Menda mengatakan, di eranya ketika masih berusia 20-an tahun, Halfway merupakan pilihan bagi peselancar-peselancar dunia seperti Australia. Hal ini diakui oleh generasi pertama selancar ombak di Indonesia ini, Kuta adalah magnet karena ombaknya panjang dan kemunculannya konsisten.
Kuta juga menjadi magnet, karena peselancar dengan kuda-kuda kaki kidal (regular) maupun kanan (goofy) bisa bermain di pantai ini. Daya tarik lainya, tipe ombaknya beach break sehingga dapat digunakan berselancar baik ketika ombak pasang (full tide) maupun surut (low tide). Karakteristik beach break memungkinkan bagi peselancar pemula (beginner) untuk belajar berselancar.
Dalam dunia selancar ombak, ada tiga kategori lokasi untuk berselancar. Pertama, beach break yakni dasar lautnya adalah pasir sehingga gelombang pecah dipengaruhi oleh sandbank atau formasi pasir di dasar laut. Kedua, tipe reef break atau ombak karang, yang dipengaruhi oleh formasi karang di dasar laut. Ketiga, point break yakni pantai berupa semenanjung atau teluk sehingga ombak akan pecah sangat panjang. Berbeda dibandingkan dengan reef break dan point break yang mengharuskan memiliki kemampuan tingkat menengah atau intermediate untuk berselancar.
Komang Dedy, warga lokal Seminyak juga merasakan hal yang sama seperti Menda. Dia menuturkan dulu kemunculan ombak di sekitar Seminyak konsisten dan ada beberapa titik tertentu. Selain konsisten, ombak pecah lebih lama sehingga dapat melakukan banyak manuver. Kini, beberapa titik di Seminyak tidak lagi ada ombaknya, tersisa menyisakan beberapa titik saja. Perubahan itu terjadi sejak akhir 1990an ketika masih terjadi pembangunan di pesisir Bali.
“Dulu itu sampai barrel-barrel [ombak berwujud seperti tunnel] di sini, khususnya pas low tide. Sekarang sudah tidak ada,” ungkap pria yang sudah berselancar sejak 1990an ini.
Brett Courte juga mengatakan hal yang sama. Pria asal Sydney, Australia ini sejak 1983 rutin berkunjung ke Bali. Pria yang menjdikan Bali sebagai rumah keduanya ini menghabiskan waktu sekitar 3 minggu setiap tahunya untuk mencari ombak-ombak terbaik di seantero Bali. Menurutnya, dulu untuk berselancar di pesisir kawasan wisata tersebut sangat mudah, dan ombaknya sudah dapat diterka akan muncul di titik sebelah mana. Pilihan ombaknya juga sangat banyak.
Kondisi berubah dan berbeda jauh dibandingkan ketika dirinya dulu pada tahun 1980an hingga 1990an datang ke Kuta. Ombak yang datang di daerah ini kini cepat berhenti serta tidak konsisten seperti dulu saat dirinya masih muda datang ke Bali.
“Sekarang tidak beraturan ombaknya dan tidak konsisten seperti dulu. Masih ada ombaknya tapi kadang muncul di titik ini kadang berubah. Dulu kalau sudah di titik itu akan tetap disitu,” jelasnya kepada Bisnis.
Dia menduga itu terjadi karena sandbank di sepanjang Kuta, Legian hingga Seminyak hilang. Sama seperti Menda, Brett merasakan perubahan terjadi sejak masifnya pembangunan di pesisir Kuta hingga Seminyak. Sejumlah peselancar yang ditemui rerata memiliki pandangan seragam yakni paska pembangunan landasan pacu di Bandara International I Gusti Ngurah Rai menjadi pemicu perubahan lokasi surfing di pesisir Kuta. Selain itu, pembangunan di pesisir Pantai Kuta diduga ikut memperparah perubahan sandbank.
Tony Butt dan Paul Russel dalam bukunya Surf Science: An Introduction to Waves for Surfing, menjelaskan sedimen, dan pasir merupakan unsur penting pemecah gelombang sehingga menjadi ombak berkualitas. Kumpulan pasir, dan sidemen yang mengendap di dasar laut tersebut disebut dengan sandbank. Keberadaanya berperan penting dalam menentukan ukuran hingga kualitas ombak. Adapun pembentukan sandbank tergantung dari banyak faktor.
Pesisir Kuta berlokasi sejajar dengan Bandara International I Gusti Ngurah Rai. Panjangnya mencapai 5 km dan membentang dari bandara hingga Seminyak. Pesisir Pantai Kuta sendiri merupakan salah satu lokasi yang sering mengalami perubahan bentuk pesisirnya, karena abrasi, dan erosi. Walhasil dugaan dampak dari pembangunan landasan pacu dan perluasan bandara sering muncul di kalangan peselancar.
Sebagai gambaran bandara yang awalnya bernama Pelabuhan Udara Tuban ini pada periode 1963-1969 memperpanjang landasan pacu dari 1.200 meter menjadi 1.500 meter. Caranya mereklemasi sisi barat bagian bandara. Pada periode 1990-1992, landasan pacu bandara ini diperpanjang lagi menjadi 3.000 meter. Pembangunan bandara ini semakin masif pada 2018 ketika Bali ditunjuk sebagai lokasi pertemuan IMF-World Bank Annual Meeting. Luasan bandara ditambah lagi seluas 48 hektare dengan cara mereklamasi sisi utara landasan pacu. Saat itu, alasan reklamasi perlu dilakukan karena bandara tersebut melayani 15 juta-20 juta penumpang per tahun.
Seiring dengan masifnya pembangunan bandara, pemerintah daerah dan pusat juga sering melakukan perbaikan pesisir pantai Kuta. Pada periode 2006-2008 silam, Japan International Cooperation Agency (JICA) mendanai penanganan pesisir Bali yang dibungkus dalam proyek Bali Beach Conservation Project (BBCP).
Kuta kebagian dalam proyek Fase 1 berupa konservasi berupa pembangunan sistem pengaman pantai yang terdiri dari 3 unit pemecah gelombang (breakwater), sebuah groin, revetment dan pengisian pasir (beach fill). Panjang kawasan pesisir Kuta yang dikonservasi mencapai 4,3 km. Dari hasil laporan JICA 2013, total pasir yang didatangkan, dan ditempatkan di Kuta pada periode 2008 tersebut sebanyak 519.000 meter kubik. Rencananya, Fase II dari proyek ini dilanjutkan pada 2024 mendatang.
Hanya saja, proyek penambahan pasir ini tidak bertahan lama. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai Pantai Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air pada 2013 silam menemukan fakta bahwa dasar, dan pantai Kuta mengalami perubahan akibat sedimentasi dan erosi. Sedimentasi terbesar terjadi pada tiga titik yang mencapai 1 meter sedangkan erosi terbesar terjadi di dua titik juga yang mencapai besar -1.6 meter yang posisinya tidak terlalu dekat dengan pantai. Di daerah dekat pantai, rata-rata terjadi sedimentasi sebesar 0.2 meter, dan terjadi erosi sebesar -0.2 meter.
Pengamat Kelautan dari Universitas Udayana I Gede Hendrawan mengakui sah-sah saja jika peselancar menduga penyebab hilangnya sandbank akibat dampak dari pembangunan bandara. Menurutnya, pendapat tersebut merupakan salah satu indikasi sosial. Diakuinya, setiap terjadi pembangunan di sebuah lokasi khususnya lautan, pasti akan berdampak terhadap sekitarnya. Dia mencontohkan jika di satu titik dibangun jeti atau breakwater, akan menyebabkan perpindahan gelombang atau ombak ke tempat sekitar. Namun demikian, untuk membuktikannya secara ilmiah harus dilakukan kajian terlebih dulu.
"Itu bukti sosial bisa dijadikan dasar, tetapi karena saya akademisi harus ada data valid untuk menentukan apakah benar karena pembangunan bandara. Tetapi secara umum, ini misalnya air diisi benda pasti akan pindah ke lokasi lain di sekitar," tuturnya.
Dosen di Fakultas Perikanan dan Kelautan Udayana ini menjelaskan harus dilakukan penelitian dulu terkait arah angin, geometri, dan batimetri untuk menilai penyebab hilangnya sandbank di pesisir Kuta. Karena ketiganya merupakan unsur pembentuk ombak. Kecepatan angin terkait dengan panjang atau jarak hembusan angin serta lamanya periode hembusan yang mempengaruhi gelombang. Adapun geometri laut merupakan bentuk topografi pinggir pantai. Lebar dan sempit bentuk pantai akan mempengaruhi gelombang.
Sementara itu, terkait batimetri merupakan topografi dasar laut. Kalau curam gelombang tinggi dan membahayakan. Jadi dari pantai menuju laut, kalau curam itu tinggi dan pecah itu berbahaya. Itu memang untuk profesional. Tapi kalau cari gelombang surfing yang gradual dan panjang dan lama itu stive tidak terlalu penting. Artinya kalau batimetri berubah itu akan pengaruhi gelombang apakah cepat hilang atau dia menjadi lebih lama. Itu tergantung bentuk batimetri.
Menurutnya, berubahnya ombak di Pantai Kuta hingga Seminyak tidak bisa didasarkan dari satu sisi saja melainkan dari tiga hal tadi harus diteliti. Apakah kecepatan angin, dan lamanya hembusan berubah atau justru karena pengaruh endapan di dasar laut atau ada faktor lain. Hendrawan mencontohkan di Pantai Pengambengan, terjadi endapan di sisi kanan kiri menyebabkan perubahan gelombang.
“Jadi kalau melihat ombak, itu harus dicek satu persatu apakah faktor angin, geometri atau batimetri,” tegasnya.
Dari pengamatan Bisnis, sejauh ini belum ada perlindungan maupun keberpihakan terhadap ombak di Bali. Pembangunan atas nama konservasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan pusat hanya sebatas melindungi kawasan pesisir bukan ekosistem secara keseluruhan. Bahkan, keberpihakan terhadap selancar ombak sebagai industri juga belum ada terlihat hingga kini. Kadis Pariwisata Bali Tjokorda Bagus Pemayun mengakui sejauh ini perhatian pemerintah terhadap surfing masih sebatas dukungan terhadap pariwisata. Belum ada rencana khusus menjadikan selancar ombak sebagai salah satu daya tarik.
"Kalau dukungan sudah kami berikan, seperti bentuk kompetisi akan kami sambungkan juga dengan Kementerian Pariwisata juga," tuturnya.
Belum adanya perhatian khusus aktivitas selancar ombak memunculkan kekhawatiran. Pasalnya, selain menghadapi ancaman terhadap perubahan pesisir, selancar juga mengalami ancaman dari lingkungan. Khususnya ketika musim angin barat tiba pada periode November hingga Februari. Pada periode tersebut, pesisir seperti Kuta akan “diserbu” sampah plastik yang membuat pemandangan kumuh dan membahayakan peselancar serta ekosistem.
Menda menuturkan persoalan sampah ketika musim angin barat sudah muncul sejak jaman dia masih muda. Hanya saja, di era sebelum 90-an, sampah yang datang berupa ranting pohon berbagai ukuran. Oleh masyarakat, ranting itu dapat dimanfaatkan untuk keperluan domestic.
“Inilah yang membuat saya gelisah, ini bagaimana kalau terus berlangsung. Sampah ini akan membahayakan, dan merusak citra Kuta,” jelasnya.
Menurutnya, kekhawatiran itu seharusnya tidak muncul karena Kuta sebenarnya sangat indah. Pengalamannya melanglang buana ke berbagai negara untuk berselancar, Kuta teramat indah. Lokasinya mudah dijangkau oleh masyarakat. Sangat berbeda dengan pantai-pantai di luar negeri harus dijangkau hingga 2 jam karena jarak tempuh dengan perumahan sangat jauh.
Menggerakkan Ekonomi Lokal
Penegasan itu belum sebanding dengan besarnya potensi selancar ombak di Pulau Dewata. Jika Mentawai di Sumatra Barat disebut sebagai nirwana selancar ombak, Bali adalah surganya selancar. Dalam situs www.wannasurf.com, Bali adalah provinsi dengan jumlah titik selancar ombak terbanyak di Indonesia. Total ada 51 lokasi selancar yang tersebar di Kabupaten Badung, Kota Denpasar, Gianyar, Klungkung hingga Jembrana. Ini menandakan besarnya potensi baik dalam hal pariwisita berkelanjutan hingga perekonomian daerah.
Salah satu buktinya ditujukan oleh hasil riset yang dilakukan oleh Conservation International Indonesia dan Center Surf of Research Universitas San Diego California pada 2013 di Kawasan Uluwatu. Dalam riset berjudul Assessing Direct Expenditure Associated with Ecosystem Services in the Local Economy of Uluwatu, Bali, Indonesia, terungkap kontribusi selancar ombak terhadap perekonomian di semenanjung Uluwatu lebih dari Rp500 miliar (US$35,3 juta) per tahun.
Semenanjung ini meliputi Uluwatu, Bingin, Padang-padang hingga Dreamland. Diperkirakan penikmat selancar ombak di sekitar Semenanjung Uluwatu mencapai 240.000 orang dengan tingkat pengeluaran harian sebanyak US$150 per hari. Riset ini dilakukan dengan wawancarai sebanyak 444 responden pada periode Agustus-September 2013, dan 150 responden pada November-Desember 2013.
Riset itu baru dilakukan di sekitar Uluwatu yang merupakan salah satu spot terbaik bagi pecinta tipe reef break alias ombak karang. Fakta itu menunjukkan bahwa pariwisata berbasis ombak signifikan mendorong perekonomian desa pesisir. Sehingga, sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah daerah memperlakukan ombak sebagai sumber daya alam. Ditambah fakta bahwa tidak semua daerah berpantai memiliki ombak bagus seperti di Bali.
Butuh Proteksi Kawasan
Bali MPA Network Manager Conservation International Indonesia, Iwan Dewantama, mengatakan keberadaan ombak harus dilindungi oleh pemerintah. Melindungi ombak bagian dari melindungi ekosistem. Karena ombak tidak berdiri sendiri. Ada ekosistem di dalamnya yang saling berkaitan. Iwan menuturkan melestarikan ombak tidak hanya sekedar menjaga supaya wisatawan tetap datang. Ada ekosistem yang harus dilestarikan seperti terumbu karang, mangrove, biota laut, hingga arus migrasi spesies.
Dia mencontohkan di daerah Uluwatu merupakan perlintasan migrasi spesies laut salah satunya mamalia Paus. Kemudian ada terumbu karang. Kerusakan ombak di Uluwatu, akan membuat ekosistem terganggu. Hanya saja, keberadaan ombak ini belum menjadi perhatian bagi pemerintah daerah. Jangan heran, belum ada aturan yang melindunginya. Sampai saat ini belum ada Perda Tata Ruang mengatur kawasan konservasi pesisir.
Pesisir Badung mulai dari Tanjung Benoa-Nusa Dua-Uluwatu-Kuta hingga Perenenan sebenarnya sudah diusulkan kandidat konservasi. Jika Badung sudah ditetapkan sebagai konservasi. Perairan 10-12 mil dari pantai tidak boleh sembarangan dibangun. Penetapan kawasan konservasi harus diikuti dengan manajemen plan dan identifikasi zonasi. Semisal, ada berapa hektare terumbu karang hingga pembuatan zona inti yang benar-benar bebas dari pembangunan. Ini jika terwujud akan dapat melindungi ekosistem. Tidak hanya ombak yang menjadi sumber daya alam, tetapi spesies hingga ekosistem terjaga.
“Problemnya, aturan tertinggi perda di Provinsi Bali belum disahkan. Itu yang kemudian menjadi persoalan karena ada status quo. Kepentingan di laut bali banyak banget. Akhirnya sekarang orang masih bisa ngapa-ngapain saja,” jelasnya.
Penetapan kawasan konservasi ini menjadi penting karena akan memberi jaminan kelestarian lingkungan pesisir. Sebagai daerah tujuan pariwisata, perekonomian Bali sangat bergantung dengan sektor pariwisata. Menjaga alam maka akan dapat menjaga keberlanjutan kedatangan wisatawan. Meskipun hingga saat ini belum diketahui berapa banyak jumlah wisatawan peselancar yang berkunjung ke Bali setiap tahun, perlindungan kawasan dengan potensi selancar ombak sangat mendesak dilakukan.
Salah satu caranya dengan bentuk proteksi seperti penempatan sebagai kawasan pesisir di Tata Ruang. Penetapan sebagai kawasan pesisir akan mengurangi dampak pembangunan yang berpotensi menambah banyaknya sedimen berpindah ke dasar pantai. Pergerakan sedimen berlebihan yang terbawa oleh arus dari pesisir berpotensi mengubah bentuk pemecah gelombang menjadi ombak. Apa yang dialami pesisir di Bali jauh berbeda dengan di Australia. Sebagai gambaran, ada 21 pantai di Australia mendeklarasikan sebagai kawasan selancar yang dilindungi karena berkaitan dengan ekosistem lingkungan seperti terumbu karang hingga mata pencaharian, dan perekonomian lokal.
(Liputan ini hasil program fellowship Peliputan Berbasis Sains yang diselenggarakan ISN Lab by SISJ dan didukung Google News Initiative)