Bisnis.com, DENPASAR - Pedagang di Bali merasa keberatan dengan kebijakan Gubernur Bali, I Wayan Koster, yang melarang produksi dan peredaran air mineral kemasan kecil di bawah 1 liter.
Salah satu pedagang toko kelontong, Adi, yang biasa menjual air minum kemasan menjelaskan kebijakan tersebut akan berdampak ke pedagang kecil seperti dirinya.
Sebab, penjualan air kemasan kecil menjadi andalan lantaran paling laku jika dibandingkan dengan kemasan besar di atas 1 liter.
"Kami tentu keberatan dengan kebijakan ini, karena akan berdampak kepada kami sebagai pedagang. Selama ini penjualan air kemasan kecil lebih banyak dibandingkan dengan air kemasan besar," kata Adi saat dikonfirmasi Bisnis, Selasa (8/4/2025).
Diberitakan sebelumnya, Gubernur Bali I Wayan Koster melarang perusahaan air minum memproduksi kemasan ukuran kecil di bawah 1 liter dengan tujuan mengurangi sampah plastik dari air kemasan.
Larangan tersebut termaktub dalam Surat Edaran (SE) Gubernur Nomor 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah.
Baca Juga
Dalam SE tersebut, Koster menyebut lembaga usaha dilarang memproduksi air minum kemasan plastik sekali pakai dengan volume kurang dari 1 liter di wilayah Provinsi Bali.
Kemudian Koster juga melarang distributor menjual minuman kemasan ukuran kecil ke toko-toko kelontong.
"Setiap distributor atau pemasok dilarang mendistribusikan produk atau minuman kemasan plastik sekali pakai di Wilayah Provinsi Bali," ucap Koster dari surat edarannya dikutip Senin (7/4/2025).
Koster juga melarang melarang pelaku usaha di Bali menyediakan plastik sekali pakai untuk konsumen. Larangan ini diberlakukan karena Koster menilai sampah plastik sudah menjadi masalah mendesak dan serius bagi Pulau Dewata.
Akan tetapi larangan penjualan air minum kemasan ukuran kecil akan berdampak terhadap produsen minuman di Bali.
Ada beberapa perusahaan yang memproduksi langsung air minum di Bali, baik air mineral maupun minuman kemasan jenis lainnya.
Dalam surat edarannya, Koster juga menyebut desa adat, desa dinas, atau kelurahan hingga pihak swasta harus bisa mengelola sampahnya secara mandiri.
Pengelolaan sampah berbasis sumber harus bisa dilaksanakan mulai 2025, Kepala Desa dan Bendesa Adat juga diwajibkan membuat aturan (pararem) yang mengatur pengelolaan sampah berbasis sumber.