Bisnis.com, JAKARTA - Perekonomian Provinsi Nusa Tenggara Timur pada 2024 tumbuh 3,73% (BPS, 2025), sedangkan ekonomi pertanian hanya tumbuh 1,75%, jauh di bawah angka pertumbuhan PDRB NTT. Tiga aspek ketahanan pangan yakni ketersediaan, keterjangkauan dan pemanfaatan pangan sangat terkait dengan ekonomi pertanian.
Sejak 2021, sektor pertanian di NTT menunjukkan tren penurunan yang cukup mencolok. Salah satu subsektor yang paling tertekan adalah tanaman pangan, pada 2023 pertumbuhan PDRB-nya terkontraksi sebesar -3,53%. Namun tidak semua sektor mengalami kemerosotan.
Perkebunan menjadi salah satu contoh pada sub sektor pertanian yang mampu mencatatkan pertumbuhan positif mencapai 10,82% pada 2023. Di sisi lain, sub sektor hortikultura dan peternakan juga mencatatkan pertumbuhan yang positif, meskipun pertumbuhan tersebut tidak sebesar di tahun sebelumnya. Peternakan mampu tumbuh sebesar 3,98% dan hortikultura hanya 0,90%.
Melihat data tersebut, sudah saatnya untuk merancang strategi pengembangan ekonomi pertanian untuk ketahanan pangan di NTT. Tanpa langkah-langkah konkret, bisa semakin tertinggal dan mempengaruhi daya saing ekonomi daerah secara keseluruhan. NTT memiliki potensi besar pada pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan termasuk rumput laut dan garam yang jika dimaksimalkan dapat menjadi pilar utama mendorong ketahanan pangan.
Dalam rangka mempercepat swasembada pangan, hal yang utama diprioritaskan adalah bagaimana menjaga harga komoditi tetap stabil, dan menguntungkan usaha tani dan investor, hal ini akan membuat petani bersemangat dan pemerintah mudah transformasi ekonomi bidang pangan.
Struktur program prioritas nasional swasembada pangan dalam rancangan RPJMN 2025-2029, terdapat 2 indikator; Indeks Ketahanan Pangan dan Pertumbuhan PDB Pertanian, Kehutanan dan Perikanan. Program prioritas swasembada pangan mempunyai sasaran meningkatnya ketersediaan pangan secara berkelanjutan berbasis lumbung pangan, meningkatnya kualitas konsumsi, keamanan dan penanganan kerawanan pangan, meningkatnya nilai tambah, produktivitas dan tata kelola sistem pangan.
Baca Juga
Transformasi ekonomi di bidang pangan dijalankan dengan model bisnis terintegrasi dari hulu ke hilir: budidaya oleh petani, didukung dengan penyediaan input (benih unggul, pupuk), irigasi, penyuluhan serta teknologi, pengolahan pascapanen, hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah sampai pemasaran ke tingkat konsumen.
Hilirisasi pangan yang dimulai dari Desa mendorong pertumbuhan sektor pertanian lebih tinggi, penciptaan lapangan kerja, dan mampu meningkatkan penghasilan dan konsumsi masyarakat, memperkuat kebijakan stabilisasi harga dan pengendalian inflasi yang penting bagi stabilitas makroekonomi, daya beli dan kesejahteraan masyarakat, menurunkan impor, kebutuhan pangan yang terus meningkat, menghemat devisa dan memperkuat ketahanan ekonomi dari gejolak harga komoditas.
Provinsi NTT dalam RKP 2025 diharapkan mencetak dan meningkatkan produktivitas lahan pertanian dengan lumbung pangan, harus memiliki semangat, gotong royong, kerjasama dan komitmen melaksanakan program berkesinambungan, bersinergi memperkuat ketahanan pangan, meningkatkan kesejahteraan petani dan nelayan, mendorong ekosistem agrowisata-kreatif berkelanjutan ramah lingkungan, membuat terobosan dan intermediasi dengan pelibatan SDM, pemberdayaan penyuluh, milenial dan generasi Z dan searah program Pemerintah.
Jika menelaah diagnosa kinerja sistem pangan dan pertanian NTT, maka perlu melakukan transformasi pangan: pengembangan Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP) di Kabupaten Sumba Tengah dan Kabupaten Belu yang didukung oleh kawasan transmigrasi Tasifeto-Mandeu pada peningkatan produktivitas lahan pertanian, pengembangan hortikultura, dan pembibitan peternakan.
KSPP untuk melanjutkan, memperbaiki Food Estate (FE) yang ada, dengan pendekatan pengelolaannya oleh Pemerintah Pusat dan/atau BUMN untuk skala besar, atau Pemerintah Daerah untuk skala UKM. Peningkatan produktivitas pertanian melalui program intensifikasi dan ekstensifikasi lahan, pencetakan lahan sawah baru dan penguatan jaringan irigasi.
Implementasi transformasi kebijakan sistem pangan dan pertanian di NTT bersinergi dengan Pemerintah Pusat, melalui: peningkatan kompetensi sumberdaya manusia, pelibatan Aparatur Sipil Negara (ASN) Daerah, akademisi/peneliti, komunitas, pemberdayaan masyarakat termasuk memaksimalkan peran intermediator penyuluh pertanian, organisasi Pemuda/Masyarakat dunia usaha/asosiasi KADIN, media dalam memberitakan kemajuan transformasi pangan.
Pemerintah mendorong penguatan kapasitas penyuluh dalam meningkatkan produktivitas, menjadikan petani milenial transformasional: mengembangkan pertanian organik, melakukan inovasi dan integrasi pertanian, perikanan, dan peternakan, membangun pertanian berkelanjutan dan membuka pasar.
Strategi lainnya pemberdayaan aset yang idle, pemanfaatan aset yang dimiliki organisasi keagamaan. Analisis Kementerian Keuangan, diduga terdapat 11.000 triliun aset idle pemerintah yang dapat dioptimalkan pengelolaannya.
NTT merupakan wilayah yang perlu dikembangkan dan dikelola dengan baik, merupakan wilayah yang cocok untuk peternakan, pergaraman, perkebunan dan pangan. Pemanfaatan tanah adat, agama dan tanah petani yang dikelola suatu institusi bisnis dengan kemitraan dan koperasi dalam pengembangan investasi, gangguan lahan dimasa depan dapat dihindari, konflik suku dan antar golongan juga dapat diminimalisir.
Penguatan Pertanian dilakukan melalui Program pemberdayaan dan pendampingan masyarakat dan umat/jemaat. Implementasi transformasi ketahanan pangan masuk dalam perencanaan strategis daerah, transformasi kebijakan bidang pangan, Tata Kelola Pupuk Bersubsidi (Inpres 6/ 2025), Pendayagunaan Penyuluh Pertanian dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan (Inpres 3/ 2025), irigasi (Inpres 2/ 2025).
Komoditas unggulan sektor pertanian di NTT yang dikembangkan padi, jagung, rumput laut, peternakan (babi, sapi) jambu mete, kopi dan garam. Hilirisasi Komoditas Unggulan, seiring dengan penguatan produktivitas.
Manajemen Risiko Pembangunan Nasional (MRPN) Ketahanan Pangan.
Pemerintah melakukan pengendalian dan evaluasi melalui MRPN sesuai UU No. 59 tahun 2024 (RPJPN 2025-2045), dan Perpres Nomor 39 Tahun 2023 tentang MRPN
Karakteristik Alami Pembangunan Nasional diantaranya (i) pembangunan melibatkan lintas Kementerian/Lembaga/Daerah/Badan Usaha (K/L/D/BU), (ii) keberhasilan pembangunan dipengaruhi kualitas delivery kolektif, (iii) konsekuensinya, tercipta shared-risk yang harus dikelola bersama, (iv) pengabaian risiko dari satu pihak, dapat mengancam keberhasilan pembangunan secara kolektif.
Lesson learn yang diperoleh dari karakteristik alami pembangunan (i) perlunya kesatuan sasaran, komitmen bersama terhadap risiko yang perlu dikelola, (ii) tata kelola pembangunan memerlukan pengawalan dan mitigasi risiko sejak perencanaan, (iii) kolaborasi komitmen untuk berbagi tanggung jawab dan sumber daya, (iv) risiko bersama dimitigasi secara efektif, (v) manajemen yang abai. Konsekuensinya: (i) urgensi manajemen risiko pembangunan terintegrasi, direncanakan & dieksekusi secara kolaboratif, (ii) urgensi ini menjiwai lahirnya Perpres MRPN. (Sumber: Santoso dkk, 2024).
Ilustrasi MRPN Lintas Sektor Ketahanan Pangan terdiri; (1) Sasaran RPJMN Ketahanan pangan, Unit Pemilik Risiko:Kementerian Koordinator (2.a) Koordinator MRPN Linsek: Kemenko Bidang Pangan, (2.b) K/L menyusun profil risiko program dan proyek (i) Kementerian Pertanian Indikatornya: Optimasi lahan, alsintan, benih unggul, pupuk, penyuluh; (ii) Kementerian Pekerjaan Umum indikatornya: Bendungan, Irigasi; (iii) Kementerian BUMN sebagai koordinator BUMN, misal: Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC), Perum BULOG (Penyerapan Beras), (iv) Kementerian Desa dan PDT indikatornya: Dana Desa, Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa), (v) Kementerian Dalam Negeri sebagai pembina Provinsi, Kabupaten/Kota indikatornya: ketahanan pangan tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, (vi) Badan Riset dan Inovasi Nasional indikatornya: benih unggul, teknologi; (vii) Kementerian Lingkungan Hidup, (viii) BAPANAS, (ix) BMKG; (3) BPKP sebagai Pengawas.
MRPN Ketahanan Pangan di NTT dapat diterapkan di KSPP dengan Indikasi Risiko input pertanian yang berkualitas rendah/terbatas, lahan cetak sawah belum clean & clear yang dilakukan Analisis MRPN lintas sektor agar berkontribusi sisi produksi pertanian dan sumber pendapatan.