Bisnis.com, DENPASAR - Usaha penanganan sampah di Bali harus dilakukan secara serius mulai dari melakukan edukasi masyarakat, bekerja sama dengan pemerintah, swasta, NGO, dan pihak asing.
Ada sebagian yang sukses meningkatkan nilai tambah sampah dan membentuk sirkular ekonomi. Seperti yang dilakukan agregator bernama Sangkara yang berhasil memadukan usaha pengelolaan sampah berbasis teknologi.
Sangkara menjalankan pola pendampingan ke tempat pengolahan sampah dan menjembatani dengan industri pengolahan limbah. Pada saat yang sama, lembaga swasta ini membangun website yang menampung identitas (id) mitra pengumpul sampah di skala rumah tangga.
Founder Sangkara Made Andy Kurnia Prayoga mengatakan penjualan sampah plastik (PET) dari pengumpul langsung ke pabrik membuat nilai barang bertambah. Sebagai ilustrasi, keuntungan penjualan sampah PET di pasar lokal Rp500 per kg sedangkan bila sampai pabrik bisa Rp2.000 per kg.
"Tantangannya pasokan harus kontinyu. Kita jadi menggandeng berbagai pihak untuk memenuhi pasokan ini. Termasuk pengumpul dan pemilah di warga," jelasnya, Kamis (3/7/2025).
Sangkara juga meningkatkan motivasi warga untuk memilah sampah berbasis sumber. Caranya dengan menetapkan nilai layak untuk sampah terkumpul, dan membuat sistem tabungan yang kesemuanya terekam secara digital.
Baca Juga
"Ada 2.000 user aktif yang tergabung di Sangkara," tambahnya. Sementara di sisi industri, Sangkara juga menggandeng usaha peleburan plastik yang bisa mengubah limbah jadi produk furnitur.
Agregator pengelolaan sampah lain Bali Waste Cycle (BWC) juga mengolah lanjutan sampah untuk menghasilkan produk turunan. Selain dibentuk sebagai kerajinan, sampah kelolaan juga dijadikan sumber energi di tempat olah sampah setempat (TOSS) di Klungkung.
Founder Bali Waste Cycle (BWC), Olivia Anastasia Padang, menjelaskan sampah anorganik diolah menjadi bahan baku produk daur ulang, dibuat papan HDPE yang dapat dibentuk menjadi produk interior souvenir dan produk lainnya.
"Kami mampu memproduksi di Karfa 15 papan sehari atau setara dengan 300 kg jenis HDPE per hari berhasil dimanfaatkan kembali," jelas Olivia
Adapula residu yang dikonversi menjadi refuse-derived fuel (RDF) yang digunakan sebagai substitusi batubara di industri, dengan nilai kalor mencapai 5.000 kkal/kg.
"Dari 143 ton residu di TOSS Klungkung, kami menghasilkan RDF yang menggantikan 20% kebutuhan batubara di mitra industri kami," tambahnya.
Per 2024, BWC mengelola rata-rata 59.615 kg sampah per bulan, dengan komposisi 23,2% plastik, 11,5% kaca, 2,8% logam, 31,8% kertas/kardus, 10% Press, 20% others. Sumber Utama sampah itu dari 500 lebih mitra seperti hotel, restoran, pasar tradisional, dan bank sampah komunitas.
Selain kedua agregator tersebut, lembaga lain seperti Rumah Plastik di Buleleng juga mengelola sampah menjadi produk turunan, baik furnitur maupun kerajinan. Adapula perusahaan, Eco Bali Recycling, yang memfasilitasi penanganan sampah.